Kamis, 16 Oktober 2008

Chapter 2:
A revealing water trip


Di sinilah aku berada. Duduk terdiam, di kantor polisi.
Aku masih tertunduk kaku, belum percaya apa yang terjadi.. darah Olin masih menempel pada T-Shirtku. Coba tadi aku ga mengikuti ajakan dia, mungkin aku sekarang sedang tenang-tenangnya belajar di kampus..Ya Allah, kalau ini cuma mimpi, cepat bangunkan aku.

Seorang polisi menghampiriku. Tubuhnya cukup besar, dengan kumisnya yang lebat, kusut karena terlalu sering dipilin-pilin. Ia dengan penuh prihatin melihatku. Aku hanya bisa terus menunduk. Saat ini aku belum berani memandang siapapun.

”Kami turut berduka cita atas kematian temanmu...”

Mendengar itu, aku tetap diam. Aku hanya ingin berbicara jika benar-benar perlu.

”Saat ini kami masih menyelidiki penyebab olengnya truk tersebut. Supir truk masih tidak sadarkan diri. Jenasah teman anda sedang kami bawa ke rumah sakit untuk diotopsi.”

Ada yang mengetuk pintu. Sang polisi membukakan pintu tersebut.

Pacarku datang. Dede.....

Si polisi mempersilahkan aku untuk mengobrol sebentar dengan Dede, lalu diapun keluar.

Oh, aku ga mampu menahan air mata. Aku ingin menghampirinya. Tapi, aku tetap belum bisa memandangnya. Aku hanya tertunduk sambil menangis....

Ia lalu menghampiriku. Memegang pundakku, dan berkata,

”Ayank, maafin De baru dateng... Ayank gapapa kan..?”

”Iyah...Ayank, Kamil takut...”

”Ada De disini... kita selesein bareng-bareng, yah?”

Tiba-tiba, polisi tersebut kembali datang.

”Mas Kamil, anda dipersilahkan untuk pulang. Kesaksian anda sudah cukup. Dan penyebab olengnya truk sudah kami temukan..”

”Apa penyebabnya, Pak?”

Si polisi kemudian mengeluarkan plastik yang berisi sebuah benda. Sebuah benda yang sangat kukenal..

SEBUAH BOTOL.....

Botol Olin yang sama persis seperti yang kubuang waktu itu..

Dengan stiker bertuliskan ’punggung’, yang sekarang sudah menjadi warna putih....

”Botol ini kami temukan terselip di balik pedal rem truk tersebut. Itu yang menyebabkan sang supir tidak mampu mengerem dan mungkin karena panik, ia sulit mengontrol kendaraan tersebut..”

Aku telah membunuh Olin....

Secara tidak langsung, aku telah melempar botol itu dan membawa Olin pada kematiannya....

”Mas.... Mass???”

”......Ehh??? Iya Pak?”

”Anda sudah boleh pulang, Mas. Silahkan bawa tas Anda. Lebih baik sekarang Anda istirahat yang cukup. Mungkin di hari lain kami akan memanggil Anda lagi bila kami butuh keterangan...”

Lalu, aku dan Dede pun berjalan pulang.
Ah, sial, motorku kutinggalkan di parkiran sana. Aku benar-benar tidak berniat mengambilnya sekarang. Di sana pasti sudah banyak orang dan polisi berkumpul...

”Ayank, denger kan tadi kata Pak Polisinya??”

”Iya, Kamil denger, truknya oleng gara-gara botol kan yank?”

”Bukan yang itu... Ayank butuh istirahat yang cukup. Tuh, kan? Liat aja sekarang. Jadi ga connect gitu... inget, lusa tuh Ayank udah mulai kuliah lagi. Nih liat, mulai jam setengah delapan, terus nanti ada lagi jam tiga. Kebetulan besok kuliah Ayank kan libur, jadi seharian itu Ayank pake buat istirahat.. Jangan coba pikirin apa yang terjadi! Jangan pergi kemana-mana! Pokoknya besok istirahat!!”

Emang cukup lucu. Selama ini memang Dede yang selalu mengatur jadwalku. Berhubung aku emang paling males ngurus hal-hal yang bersifat agenda, kehadiran Dede memang sangat krusial bagi kehidupanku. Entah gimana jadinya kalau Dede ga ada. Aku aja ga tau kalau besok aku libur kuliah...

”Iya, Yank... Sayang, sekarang ke rumah Ayank dulu yuk? Kamil mau omongin sesuatu..”

Kita pun segera mengambil angkot dan beranjak ke rumah Dede di kawasan Monumen Perjuangan.

Rumah Dede bukan rumah yang terbilang besar. Namun, aku selalu merasa sejuk dan nyaman setiap kali ke sana.

Oh, aku belum cerita tentang gadisku ini. dia adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidupku (setelah orang tua tentunya), dan mungkin yang paling berpengaruh dalam keseluruhan kisahku ini.

Dede adalah perempuan berumur 17 tahun yang aku kenal di SMA. Kami kebetulan berada pada kelas yang sama pada tahun 2006-2007. akhirnya pada tanggal 2 Januari 2007, dimulailah kisah cintaku dengan dia.

Dede adalah perempuan yang sangat tegar. Dulu dia hidup dengan enak dan serba mewah. Namun, sejak menderita penyakit yang tidak jelas asal-usulnya, ia dan keluarganya pun harus menguras uang cukup banyak. Dan akhirnya, hidupnya sekarang tidak semewah dulu.

Tentu penyakitnya sekarang telah sembuh. Dan dia sekarang telah menjadi wanita yang setegar karang. Dia begitu semangat dalam menjalani hidup. Sekarang dia bekerja di salah satu factory outlet di Bandung.

Nah, kembali lagi ke cerita. Aku dan Dede telah sampai di rumah. Dia mempersilahkanku masuk dan aku pun duduk.

”Nah, sekarang mau ngomongin apa?”,katanya.
Ehmm... bagaimana bicaranya ya. Mungkin aku bisa saja mengatakan,”Well, sayang. Aku bisa melihat stiker yang dapat meramalkan kematian seseorang”. Tapi pasti aku akan dikira orang gila.

Akhirnya, kalimat yang keluar dari mulutku adalah, ”Well, sayang. Aku bisa melihat stiker yang dapat meramalkan kematian seseorang”.

Dan jawabannya, tidak salah lagi, ”Ayank gila yah? Udah, pulang gih?!”. Lalu, ia pun melanjutkan,” Nih, dengerin. Besok, aku mau ajak ayank buat refreshing, biar ga stress kaya sekarang. Kita ke Karang Setra!!”

Karang Setra adalah kolam renang umum yang terletak di kawasan Sukajadi, masih satu jalur dengan Lembang. Tapi, Karang Setra Lebih dekat dengan Bandung. Di sana tidak Cuma disediakan fasilitas kolam renang. Tapi juga ada restoran, dan game center-nya.

Aku sih setuju saja. Lagipula, sudah lama aku tidak main air dengan Dede (bukan berenang, karena pada dasarnya aku memang dilahirkan hanya menguasai gaya batu). Mungkin Dede ada benarnya juga. Sekarang aku jadi bingung tentang peristiwa tadi, dimana Olin bercerita tentang stiker itu, apakah itu nyata atau hanya khayalan.

Aku pun disuruh pulang dan cepat-cepat tidur di rumah. Segera kuambil angkot jurusan Riung-Dago. Vespaku pun kutinggalkan di sana karena berpikir mungkin di sana masih banyak orang.


f

Keesokan harinya, aku menjemput Dede dengan motor yang terlebih dahulu kuambil di tempat parkir yang kemarin. Seperti biasa, dia terlihat sangat cantik. Hanya hari ini, ada sesuatu yang beda. Rambutnya diikat dan nampaknya ia sudah mengenakan baju renang di balik jaketnya yang cukup tebal. Sepertinya, persiapan Dede sudah mantap sejak kemarin.

”Yuk?”, kata Dede setelah duduk di jok belakang motorku. Aku pun mulai mengendarai motorku menuju Karang Setra.

Di perjalanan, Dede mengajakku bercanda. Untuk sejenak, aku dapat melupakkan peristiwa menyeramkan yang kualami kemarin.

Sesampainya di sana, aku melihat sekeliling. Buset, warung pedagang kaki lima yang menjajakan makanan seperti Nasi Uduk, Pecel Lele, dan sebagainya, ternyata masih banyak yang buka. Di dalamnya pun terlihat banyak anak muda yang sedang makan dengan lahapnya. ’godaan di pagi hari, nih’, pikirku. Dede pun menyadarkanku dengan satu tepukan lembut di pipiku. Aku hanya bisa tersenyum malu.

Kami pun segera masuk ke gerbang Karang Setra. Walaupun tidak seperti hari-hari biasa, tempat ini masih saja penuh dengan anak-anak muda. Banyak diantara mereka tidak risih memakai bikini walaupun sedang bulan puasa. Sial, lagi-lagi godaan, hehehe....

Kami pun pergi ke kamar ganti masing-masing dan mengganti baju. Dede keluar terlebih dulu dengan memakai baju renang yang cukup tertutup. Aku keluar dengan mengenakan celana boxer. Kita pun lalu bersiap-siap, mengambil ancang-ancang, dan duduk di sisi kolam lalu berkecipak kaki-ria.

Suasana kolam cukup ramai. Ada bapak-bapak yang sedang mengajarkan anaknya untuk berenang. Ada juga cowok-cowok jail yang merayu perempuan berbikini. Aku hanya bisa tertawa kecil. Siapa juga yang nyuruh pake baju sexy-sexy amat.

Aku lalu berenang kecil ke tengah kolam. Dede pun mengikutiku. Di sini yang kita biasa lakukan adalah lomba menahan nafas. Walaupun memang Cuma lomba menahan nafas biasa, buat kami ini cukup seru. Karena kadang kita menghalalkan segala cara untuk menjadi pemenang. Aku sering membuat muka lucu di dalam air agar Dede tertawa dan aku jadi pemenangnya. Dede pun tak jarang menggelitikku sampai aku pun tertawa dan akhirnya kalah.

Lomba pun dimulai.

Dede mulai menghitung.

”Satu....Dua........”

”Tiga!!”

Dede mencelupkan mukanya ke dalam air. Aku menunggu beberapa detik agar bisa lebih lama menahan nafas dalam air. Namun Dede segera memegang kepalaku dan mencelupkannya ke dalam air.

”Blupp!!!!”

aku mulai membuat muka lucu agar Dede tertawa. Tapi, sial. Kali ini trik tersebut tidak berhasil. Dengan serius Dede memejamkan mata dan menyilangkan tangan di dadanya.

Akupun berenang mengelilinginya. Tapi Dede tetap tidak bergeming. Dia bahkan mungkin tidak sadar kalau aku sedang berenang mengelilinginya.

Di saat itulah aku melihat sesuatu.

Warna hitam...

Stiker itu.

Ada lagi.
Di dinding kolam...

Dengan paniknya aku segera menarik Dede keluar dari kolam itu. dan segera mencabut stiker yang menempel pada dinding kolam itu.

”Ih Ayank! Apaan sih??!! Bikin kaget aja!!”

”Ini yank!! Lihat! Stiker ini ada lagi kan!!! Kamil ga boong. Liat ini! Ada lagi!!”
”Stiker apa Yank??”

Ah, percuma. Dede tidak mungkin bisa melihatnya.
Mataku yang masih perih karena kaporit sulit untuk membaca tulisan yang ada di stiker itu.
Setelah sedikit beradaptasi aku mulai mengeja kata yang ada di stiker itu.

”Di.....To.....???”, kataku parau.

”Hah???Dito apa???Ayank kenapa sih??”, kata Dede bingung.

”Yang namanya Dito... YANG NAMANYA DITO!!!!”, aku segera berteriak tidak karuan.

Semua orang melihatku. Dede menutup mukanya.

”YANG NAMANYA DITO! CEPAT KELUAR DARI KOLAM RENANG INI!! KAMU AKAN MATIII!!!!”, tanpa pikir panjang aku berteriak.

Tiba-tiba, mendekatlah seorang bapak-bapak tinggi besar, berkumis lebat, melotot padaku.

”anda Dito??”, tanyaku dengan gemetaran.

”Bukan. Saya bapaknya. Dito anak saya, yang itu”, katanya sambil menunjuk anaknya yang sedang asyik berkecipak dengan ban renangnya di bawah papan loncat. Sepertinya ia sama sekali tidak mempedulikan suasana sekitarnya. Dan nampaknya sang bapak ini marah sekali.

”oh... maaf, Pak. Sebaiknya anak anda segera dikeluarkan dari kolam renang. Karena...”

GUBRAKH!!!!!!!

Bapak itu mendorongku dengan keras sehingga aku terjatuh. Aduuuh, pantatku sakit sekali. Dengan sigap Dede membantuku bangun.

”KAMU JANGAN SEMBARANGAN YAH!!!! DASAR ANAK KURANG AJAR!!!”

”Pak... saya Cuma mau ngasih tau aja....”

Bapak itu lalu menjambak rambutku. Dengan emosi ia mendekatkan telingaku ke mulutnya,

”Dengar ya! Anakku itu sedang sakit parah! Saya membawanya kesini biar dia nggak terus mikirin penyakitnya!! Sekarang kamu berniat menghancurkan harinya??!!!!”

”Ma....Maaf Pak.. saya cuma....”

BRAAAAAKKKKKK!!!!!!

Semua orang menjerit.
Aku masih bingung akan apa yang terjadi
Oh, tidak.
Papan loncat di atas anak itu patah saat hendak diloncati.
Dan bagian pipih dari papan loncat itu tepat menimpa kepalanya.
Membuat kepalanya pecah dan ia pun mati seketika.

Bapak itu berteriak pilu dan segera berenang mendekati anak itu.

Ia memeluk anaknya yang sudah tidak bernyawa.
Tatapan mata anak itu... sama persis dengan Olin... kosong.....
Bapak itu menangis mengelus-elus kepala anaknya yang telah pecah...
Dengan latar air kolam yang sudah menjadi merah pekat karena darah...

Belum pernah aku melihat pemandangan yang begitu menyeramkan.

Semua orang jadi melihatku.
Beberapa diantara mereka melihat dengan mata penuh ketakutan.
Ada juga yang memandangku dengan tatapan penuh kecurigaan.
Aku pun hanya bisa terduduk lemas dan gemetaran.
Dede memelukku dari samping.

Tidak mungkin. Ini.... nyata.... stiker itu.... ramalan itu... semuanya tepat..

Seiring memudarnya warna tulisan di stiker itu menjadi putih, aku pun ambruk tak sadarkan diri.

Tidak ada komentar: